KAJIAN POLKASTRAT: TOLAK KENAIKAN HARGA BBM BERSUBSIDI
Penyebab Harga BBM Naik
1. Membengkaknya anggaran BBM Subsidi
Menko Luhut mengatakan perlu ada penyesuaian kebijakan harga BBM yang saat ini ditopang oleh subsidi dari APBN sebesar Rp502 triliun yang sebelumnya kompensasi anggaran tersebut Rp.152 triliun. Lalu adanya dugaan mafia migas yang memainkan APBN. Peneyelewengan yang dilakukan BPH Migas yang tidak mampu menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian BBM, yang membuat pemerintah menaikkan harga BBM. Adanya sejalan dengan harga minyak dunia yang tinggi, terdapat gap antara harga keekonomian dan harga jual Pertalite serta Solar.
Apalagi, saat ini harga BBM di Indonesia relatif lebih murah jika dibandingkan dengan mayoritas negara lain di dunia. Sebagai gambaran, harga keekonomian BBM jenis Solar mencapai Rp18.150 per liter, tetapi dijual di SPBU seharga Rp5.150 per liter. Sementara itu, harga keekonomian Pertalite mencapai Rp17.200 per liter, dan dijual oleh PT Pertamina (Persero) seharga Rp7.600 per liter.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, anggaran subsidi dan kompensasi energi untuk tahun ini berpotensi membengkak menjadi sebesar Rp 698 triliun. Pembengkakan anggaran ini pun akan membebani APBN 2023. Saat ini pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 triliun. Namun, kondisi lonjakan harga minyak mentah, pelemahan kurs rupiah, dan konsumsi Pertalite dan Solar yang melebihi kuota, maka alokasi anggaran itu diperkirakan tidak akan cukup hingga akhir tahun
Sayangnya, lanjut Sri Mulyani, konsumsi energi itu justru paling banyak dinikmati oleh rumah tangga mampu ketimbang oleh rumah tangga miskin yang berhak menerimanya. Ia bilang, orang miskin hanya menikmati sekitar 5 persen dari subsidi Solar dan hanya 20 persen pada subsidi Pertalite.
2.Harga BBM dianggap sangat membebankan APBN.
Tidak ada alasan pemerintah membebankan kenaikan harga minyak dunia kepada harga jual BBM ke masyarakat, apalagi BBM bersubsidi. Sebab, hingga saat ini APBN masih surplus dan seharusnya masih bisa mengganjal subsidi.
Menurut Direktur Eksekutif CORE saat ini APBN dalam kondisi surplus. Hal ini didapat dari kenaikan harga komoditas yang berimbas pada windfall profit APBN. Meski secara belanja subsidi membengkak tetapi itu tidak seberapa dibandingkan windfall profit yang dikantongi pemerintah dari kenaikan harga komoditas.
APBN semester I tahun ini surplus Rp 73 triliun. Lebih baik dibandingkan kondisi tahun lalu yang defisit Rp 270 triliun. Tahun ini, target defisit APBN 4,85 persen. Namun dengan kondisi kenaikan harga komoditas yang menambah windfall profit defisit APBN diturunkan jadi 3,9 persen.
"APBN jauh lebih baik kondisinya saat ini dibandingkan tahun lalu. Kalau kemudian ada opsi menambah kuota subsidi, beban belanja subsidi akan bertambah, BBM khususnya. Tapi ini tidak lantas membuat APBN defisitnya melewati target," ujar Faisal saat dihubungi Republika, Ahad (14/8/2022).
Faisal menilai, menaikan harga BBM khususnya Pertalite maupun Pertamax sekalipun malah akan memperburuk pertumbuhan ekonomi. Sebab, dengan kenaikan harga BBM, maka akan berdampak langsung pada inflasi.
"Saat ini target inflasi kita antara 4-5 persen. Tapi jika harga BBM naik lagi bukan tidak mungkin inflasi bisa naik jadi 6 persen," tambah Faisal. Faisal mengatakan, semakin tinggi harga kenaikan BBM jika pemerintah memutuskan burden sharing kepada pemerintah maka akan semakin meningkatkan inflasi.
Namun bertolak belakang dengan Menteri Keuangan (Menkeu) kita Sri Mulyani Indrawati menyatakan, APBN Tahun 2022 menjadi shock absorber telah bekerja keras. Konsekuensinya subsidi dan kompensasi energi sesuai Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, jumlahnya meningkat tiga kali lipat, yaitu dari APBN 2022 awal Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.
3. Harga Minyak turun tapi ICP relative masih tinggi
Sri Mulyani menjelaskan, meskipun harga minyak mentah mengalami penurunan, rata-rata harga acuan minyak mentah nasional atau ICP relatif masih tinggi.
Bahkan, bendahara negara itu menyebutkan, jika harga ICP turun hingga ke level 90 dollar AS per barrel, rata-rata harga tahunan ICP masih berada pada kisaran 98,8 dollar AS per barrel.
"Atau kalaupun harga minyak turun sampai di bawah 90 dollar AS (per barrel), maka keseluruhan tahun rata-rata ICP masih di 97 dollar AS (per barrel)," kata dia.
Dengan demikian, besaran subsidi BBM yang perlu disalurkan oleh pemerintah tetap akan membengkak, jika harga ICP mengalami penurunan cukup signifikan.
4. 70 persen subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu.
Tidak tepatnya sasaran subsidi juga menjadi penyebab bengkaknya dana subsidi, dalam hal ini Pertamina selaku distributor punya tanggung jawab untuk menyampaikan subsidi ke tangan yang tepat. Upaya ini sebenarnya sudah diusahakan oleh Pertamina, salah satunya dengan aplikasi My Pertamina yang pertama kali dirilis Agustus 2017 lalu. Bertujuan mengendalikan konsumen BBM subsidi dengan cara membatasi hanya konsumen yang sudah terdaftar yang bisa membeli BBM subsidi. Sudah lama rilis namun gencar di sosialisasikan beberapa waktu lalu, bertepatan dengan munculnya wacana kenaikan BBM. Beberapa orang berasumsi gencarnya sosialisasi My Pertamina memang diikuti dengan naiknya BBM, terkecuali Pertalite, karena memang bertujuan menyampaikan subsidi di tangan yang pas. Namun wacana saat ini juga mengikutkan Petralite dalam jenis BBM yang akan naik harga.
5. Kurangnya daya beli masyarakat yang akan mengakibatkan inflasi
Daya beli masyarakat yang mulai membaik juga menjadi alasan kenapa BBM tidak boleh naik harga, dikhawatirkan pulihnya ekonomi masyarakat secara berkala di tengah gejolak pandemi ini kembali terganggu. Naiknya BBM jelas mengganggu daya beli masyarakat, pasalnya BBM sebagai bahan bakar utama dalam transportasi dan distribusi bahan pokok
SOLUSI DARI PEMERINTAH UNTUK BBM NAIK
- Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 12,4 triliun bagi 20,65 juta keluarga kurang mampu.
- Subsidi upah pekerja
- Pengalihan dana transfer umum daerah
DATA
- Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter.
- Solar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.
- Pertamax non-subsidi dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Komentar
Posting Komentar